Kamis, 17 Januari 2013

AMBALAT SEKILAS


SEKILAS TENTANG AMBALAT
Pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional telah memenangkan Malaysia dalam hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga pulau tersebut menjadi wilayah kedaulatan Malaysia. Namun permasalahan batas wilayah perairan yurisdiksi antara NKRI - Malaysia di Laut Sulawesi belum mencapai titik temu dan sampai saat ini pihak Malaysia masih menggunakan garis batas sesuai peta yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia sejak tahun 1979 secara sepihak serta meningkatkan aktifitas kehadiran kapal patrolinya di wilayah NKRI yang diklaim sebagai wilayah lautnya, termasuk kegiatan patroli udara intai maritim yang tidak hanya memasuki wilayah laut dan udara yang diklaim namun sudah memasuki wilayah teritorial NKRI
            Pasca ditandatanganinya kesepakatan pengelolaan perminyakan oleh Petronas kepada Shell Belanda tanggal 16 Pebruari 2005, kekuatan laut dari Malaysia meningkatkan unjuk gigi dan kebolehan kemampuan persenjataan lautnya dengan melaksanakan manuver laut dan udara (Show of Force) yang dilaksanakan oleh kekuatan Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), Tentara Udara Diraja Malaysia (TUDM) maupun kekuatan Police Marine yang berpangkalan di  sekitar perbatasan RI – Malaysia.
           Malaysia menyebut wilayah Ambalat sebagai blok XYZ berdasarkan peta yang dibuatnya pada tahun 1979. Indonesia menyebut blok yang sama sebagai blok Ambalat dan blok East Ambalat. Di Blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI (Italia) pada tahun 1999. Sementara itu, blok East Ambalat diberikan kepada UNOCAL (Amerika Serikat) pada tahun 2004. Peta konsesi perminyakan yang dikeluarkan Pertamina tersebut telah diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “ Excercise of Indonesia Right to Continental Shelf ” atau pelaksanaan hak Indonesia di landas kontiten sejak dikeluarkan konsesi di daerah tersebut tidak ada klaim / protes oleh Malaysia. Sejarah pemberian konsesi ini dan tidak adanya protes dari pihak Malaysia dapat digunakan sebagai pelaksanaan hak berdaulat di daerah tersebut dan dapat ditaksirkan bahwa Indonesia yang mempunyai wilayah tersebut.
        Sampai saat ini telah menyampaikan sebanyak 7 kali nota protes bahwa klaim Malaysia pada blok ND6 (Y) telah melanggar kedaulatan RI karena masuk ke dalam blok minyak Indonesia yang telah beroperasi jauh sebelumnya di Bukat dan Ambalat. Bahkan klaim Malaysia pada blok ND-7 9 (Z) telah pula melanggar wilayah perairan selatan Philipina di selatan karang Frances.
        Peta batas maritim Malaysia tahun 1979 sebenarnya tidak mempunyai implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tahun 1979 tersebut telah tergambar klaim Malaysia termasuk batas maritim dengan negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei dan Philipina). Semua negara tetangga yang berbatasan dengan Malaysia tersebut telah mengajukan protes terhadap penerbitan peta tersebut, demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam peta tahun 1979 tersebut. Implikasi yuridis terhadap peta dapat dikatakan tidak ada disebabkan batas maritim yang tergambar dalam peta tahun 1979 tidak dilaksanakan sesuai hukum internasional (melalui perjanjian). Berkaitan dengan implikasi yuridis yang tidak ada terhadap peta tahun 1979 tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi politis dari peta tersebut.
        Arif Havas Oegroseno, Ketua Tim Teknis perundingan Delimitasi batas laut RI – Malaysia menegaskan, Indonesia mulai memberikan konsesi eksplorasi kepada berbagai perusahaan minyak pada tahun 1961 dan berjalan terus, “Jadi sudah 37,5 tahun” ujarnya kepada Tempo.
        Masalah muncul ketika Malaysia membuat peta secara sepihak pada tahun 1979. “Peta itu merupakan upaya mencaplok wilayah orang”, ujar Arif, yang sehari-hari menjabat sebagai Direktur Perjanjian Luar Negeri Departemen Luar Negeri RI. Beliau mengatakan, peta itu diprotes bukan hanya oleh Indonesia tetapi juga Singapura, Philipina, Cina, Thailand dan Vietnam. Inggris pun melayangkan protes atas nama Brunei Darussalam, saat negeri mungil di belahan utara pulau Kalimantan itu belum merdeka.
        “Legitimasi peta ini dipertanyakan banyak orang sampai sekarang”, katanya. Bangsa Indonesia berhasil memperjuangkan konsep hukum negara kepulauan (Archipelagic State) hingga diakui secara internasional. Pengakuan ini terabaikan dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini ditetapkan dalam konfrensi Ketiga PBB tentang Hukum Laut Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982. Konvensi itu kemudian diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS. Konsep hukum negara kepulauan sudah dianut Indonesia sejak pengesahan Undang-undang nomor 4 Tahun 1960 diperbarui dengan Undang-undang nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
            Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah setelah menang di International Court of Justice (ICJ) pada 2002 dalam kasus Sipadan-Ligitan, Malaysia bisa melakukan hal yang sama, menarik garis pangkal dari titik-titik dasar yang sama? Prof Hasyim Djalal mengatakan bisa saja, tapi garis yang ditarik itu, tidak akan sampai ke Ambalat. Menurut Djalal, dalam mengajukan klaimnya saat ini, Malaysia menarik garis tengah antara Nusantara Indonesia dan garis lurusnya sendiri. Djalal menambahkan bahwa masalah yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan kasus Sipadan-Ligitan. “Masalahnya, saat bertengkar dengan Malaysia dalam kasus Sipadan – Ligitan, kita tidak meminta Mahkamah Internasioanal memutuskan garis perbatasan laut sekaligus. Kita tidak pernah merundingkanya,” kata Djalal.
            Diatas kertas, Indonesia amat percaya diri dengan melihat riwayat sengketa Ambalat. Setelah keluar peta Malaysia 1979, Indonesia memprotesnya pada 1980. “ Kita katakan kepada Malaysia bahwa kita tidak mengakui petanya,” kata Arif. Pasca peta itu Indonesia terus melakukan konsensi dan Malaysia tidak pernah mengajukan protes. Dalam kelaziman hukum Internasional, menurut Arif, karena Malaysia tidak memprotes, itu berarti pengakuan terhadap sikap Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960. Malaysia, kata Arif, baru mulai mengajukan protes pada 2004 setelah menang dalam kasus Sipadan-Ligitan.
            Pada 1998 Indonesia memberikan konsensi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi minyak. Malaysia tahu itu, tapi tidak memprotes. Akhir 2004,saat Indonesia menawarkan konsensi Blok  baru  di Ambalat, tiba-tiba Malaysia protes. “Kita katakan bahwa kita tak bisa menerima protes mereka, karena itu wilayah kita.” Karena dasar klaimnya adalah peta 1979 yang diprotes banyak pihak, menurut Arif, Malaysia sama sekali tidak punya dasar hukum.
            Keputusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan sama sekali tidak bisa menjadi dasar klaim Malaysia. “ Keputusan ICJ pada 17 Desember 2002 adalah keputusan menyangkut kedaulatan Sipadan-Ligitan.” Katanya. Lalu Hakim menegaskan, kedaulatan atas kedua atas dua pulau tak berpenghuni dan batas landas kontinen adalah dua hal yang sangat berbeda.
            Hakim ICJ berpendapat, masalah delimitasi (garis batas) landas kontinen harus dipandang dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu konvensi hukum laut 1980. Sampai kini, garis landas kontinen yang diakui dunia adalah  garis yang ditetapkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960. Dalam Konvensi Hukum Laut, landas kontinen atau Continental Shelf  adalah area miring di bawah laut yang mengelilingi suatu kontinen pada kedalaman 200 meter. Pada ujung lereng area itu, lereng kontinen menukik ke bawah secara tajam hingga dasar laut.
            “Kesimpulanya, keputusan penentuan kedaulatan atas dua pulau ini Sipadan-Ligitan tidak mempunyai dirrect barring terhadap delimitasi landas kontinen,” ujar Arif.

 MENGAPA MALAYSIA BERSIKAP AROGAN TERKAIT KONFLIK BLOK AMBALAT?
C.        Bergabungnya Malaysia dalam pakta Five Power Defence Arrangement (FPDA).
1.         Gelar gugus tugas angkatan laut Malaysia di blok Ambalat dan sebagian yang terdeteksi di Labuhan memperlihatkan beda kekuatan persenjataan yang sangat mencolok. Jelas terlihat armada TLDM lebih modern dan telah dipersiapkan dalam jangka waktu yang cukup lama dalam menghadapi permasalahan Blok Ambalat.
2.         Keberanian Malaysia mengerahkan kapal perang ke blok Ambalat, bahkan menembak kapal nelayan Indonesia, kasus pesawat intai Super King dan terakhir kasus KRI Tedung Naga di Karang Unarang tentu bukan tanpa perhitungan. Apabila Indonesia memang mengklim wilayah tersebut milik Indonesia maka perhitungannya angkatan laut Indonesia akan mengambil tindakan yang signifikan.  Secara kalkulasi teknis dan peralatan armada laut dan udara Malaysia  lebih unggul, Malaysia mengetahui bahwa kapal-kapal perang Indonesia sudah menurun daya tempurnya dan ini tercermin dari tahun ke tahun diketahui biaya operasional untuk anggaran TNI selalu rendah.
3.         Apabila terjadi perang di laut, Malaysia yakin dapat mempermalukan  meskipun Indonesia  sebagai negara maritim. Apapun, ketegangan di perairan Ambalat telah menyadarkan Indonesia bahwa  sebelum terjadi perang fisik harus mempertimbangkan dan memerlukan personel dan peralatan angkatan laut dan angkatan udara yang lebih modern.perang terbuka melawan Malaysia bukan pilihan yang terbaik pada saat ini. kekuatan militer Malaysia tidak seperti yang dulu, Malaysia makin kuat dan merupakan salah satu dari lima negara yang tergabung dalam sebuah pakta militer, Five Power Defence Arrangement (FPDA), bersama Inggris, Australia, Selandia baru, dan Singapura. Dalam pengaturan FPDA jelas dikatakan bahwa “kelima pemerintah akan berkonsultasi bersama-sama untuk memutuskan tindakan apa yang harus diambil bersama-sama dalam menanggapi sebuah serangan,
atau ancaman serangan”, konfrontasi terhadap Malaysia perlu diperhitungkan kehadiran  lima negara yang tergabung dalam FPDA.
APA YANG DIPEREBUTKAN DI BLOK AMBALAT ?
Ketengangan hubungan RI - Malaysia berkaitan dengan masalah perbatasan di laut Sulawesi diawali oleh adanya klaim sepihak oleh Malaysia pada tanggal 16 Pebruari 2005 yang mengumumkan bahwa blok ND 6 dan ND 7 merupakan konsesi perminyakan baru yang dioperasikan oleh Shell dan Petronas Carigali dimana Blok tersebut tumpang tindih dengan Blok Ambalat yang dioperasikan oleh Eni Ambalat Ltd dan East Ambalat oleh Unocal Ventures yang penandatanganan kontraknya telah dilaksanakan pada tanggal 27 September 1999
            Pada waktu Pemerintah Malaysia menawarkan Wilayah Kerja ND6 dan ND7 ke perusahaan minyak Shell Belanda, Pemerintah Indonesia melalui Deplu telah melayangkan nota protes pada Pemerintah Malaysia pada tanggal 31 Oktober 2003 yang menyatakan bahwa wilayah tersebut termasuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menanggapi tawaran wilayah kerja Petronas kepada Shell, Pemerintah Indonesia telah mengajak pemerintah Malaysia untuk berunding pada tanggal 23 – 24 Juli 2004 di Malaysia tetapi tidak mencapai kata kesepakatan mengenai garis batas maritim diantara kedua negara.
Untuk mengantisipasi kesewenangan Pemerintah Malaysia, Direktorat Jenderal   Polkamwil, Deplu RI telah menyelenggarakan rapat interdep dan ditindaklanjuti dengan  pengiriman nota protes melalui jalur diplomatik kepada Pemerintah Malaysia dan Shell dan dilanjutkan dengan press release ke media pada hari Jum’at, 25 Pebruari 2005.
            Selain melaksanakan perundingan dengan pihak Malaysia, pihak Deplu juga telah mengirim surat kepada Eni Ambalat Ltd. dan Unocal Ventures Ltd. dilampiri surat protes Indonesia kepada Malaysia yang isinya :  menyatakan bahwa wilayah kerja Eni Ambalat Ltd. dan Unocal Ventures Ltd merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diharapkan agar tetap melaksanakan kegiatan perminyakan di wilayah kerja dimaksud.
            Ditjen Migas telah mengadakan rapat pada tanggal 2 Maret 2005 dengan pihak Eni Ambalat Ltd dan  Unocal ventures East Ambalat yang menegaskan bahwa Wilayah Kerja Blok Ambalat dan Blok East Ambalat masih berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada rapat tersebut pihak Ditjen Migas menghimbau agar pihak Kontraktor (Eni Ambalat Ltd dan Unocal Venture Ltd.) tetap melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kerja masing-masing sesuai jadwal dan waktu yang telah direncanakan. Kegiatan Eksplorasi ini jika dirasa membutuhkan dukungan keamanan, maka Pemerintah Indonesia melalui TNI / TNI-AL akan menyediakan fasilitas/pengamanan agar kegiatan tersebut berjalan lancar.
            Pada kesempatan itu pihak Kontraktor menyambut baik dan mendukung upaya pemerintah menyelesaikan masalah tumpang tindih baik secara diplomatik maupun non diplomatik. Diharapkan juga apabila Malaysia tidak dapat melakukan perundingan agar permasalahan ini di bawa ke Mahkamah International dalam waktu secepatnya sebelum Shell dan Petronas Carigali melakukan kegiatan eksplorasi di daerah ND6 dan ND7.
            Pada bulan Februari 2005 hubungan Indonesia-Malaysia memanas lagi. Kita dikejutkan kembali dengan klaim Malaysia atas blok minyak Ambalat berdasarkan peta 1979 dan terpetik berita Petronas telah memberikan konsesi eksplorasi minyak pada perusahaan Inggris-Belanda, Shell pada 16 Februari 2005. Sekali lagi Indonesia terpaksa ribut secara terbuka dalam perebutan wilayah dengan Malaysia. Akibat provokasi Malaysia itu situasi perbatasan utara Kaltim-Malaysia meningkat tensinya.  Lebih jauh hal itu telah pula memperluas sentimen anti Malaysia di Indonesia. 
BLOK AMBALAT

BERBAGAI PELANGGARAN WILAYAH YANG DILAKUKAN MALAYSIA SELAMA KONFLIK AMBALAT.
1.         Pengejaran dan penembakan KD Sri Melaka – 3147 terhadap 3 Kapal Ikan Indonesia tanggal 7 Januari 2005  :
            Pada tanggal 07 Januari 2005 pukul 10.00 WITA, tiga buah Kapal Ikan Indonesia (KII) yang berasal dari Nunukan yaitu KM. Jaya Sakti 60005, KM. Irwan dan KM. Wahyu - II sedang melakukan aktifitas penangkapan ikan dengan menarik jaring / pukat diperairan Laut Sulawesi pada posisi : 03º 56’ 79,1” U – 118º 05’ 27,6” T ( masih dalam wilayah kedaulatan NKRI), tiba-tiba dari arah timur datang mendekat  kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia ( TLDM ) yaitu KD. Sri Melaka - 3147. Ketiga kapal ikan tersebut merasa ketakutan dan panik, sehingga berusaha memotong tali jaring pukat dan mencoba melarikan diri kearah Nunukan.
            Pukul 10.10 WITA, KD. Sri Melaka - 3147 melaksanakan pengejaran terhadap KM. Jaya Sakti - 60005 dan menembakkan senjata jenis Mitraliur ke udara tanpa memberi peringatan terlebih dahulu pada jarak ± 50 meter dibelakang KM. Jaya Sakti 60005 dengan senjata otomatis sebanyak 2 rentetan ke samping lambung kiri dan lambung kanan. KD. Sri Melaka - 3147 berusaha merapat dan menabrak KM. Jaya Sakti 60005 yang mengenai haluan lambung kiri. Selanjutnya KM. Jaya Sakti 60005 berusaha menghindar dan meloloskan diri dengan memutar haluan ke kanan hingga jarak 100 meter, KD. Sri Melaka-3147 terus mengejar dan menabrakkan kembali pada bagian buritan lambung kiri hingga oleng dan mengalami kerusakan. Pada saat itu serta melemparkan gas asap (Smoke Gas) sebanyak 3 (tiga) kali ke geladak KM. Jaya Sakti 60005 yang terus menghindar dengan kecepatan maksimal yang dipaksakan.
            Pukul 11.00 WITA pada posisi : 03º 55’ 98,6” U – 117º 58’ 69,4” T, KD. Sri Melaka-3147 menghentikan pengejaran dan bergerak ke arah Utara selanjutnya merubah haluan menuju Tawao, Malaysia. Pukul 11.20 WITA, KM. Jaya Sakti 60005 berpapasan dengan Patkamla Simenggaris I - 615 (Patkamla Lanal Nunukan) dan Speed Patroli UGK Sungai Taiwan. Seluruh kejadian dilaporkan ke personel Patkamla Nunukan  serta menyerahkan barang bukti 2 (dua) Kelongsong gas asap (Smoke Gas) dan meminta ijin mengambil jaring yang dipotong pada saat akan dikejar oleh KD. Sri Melaka.
2.         Penganiayaan  terhadap WNI di Tongkang Lius Indah di sekitar perairan Karang Unarang oleh KD SRI MELAKA-3147 tanggal 21 Februari 2005.
            Pada tanggal 21 Februari 2005 pukul 03.00 WITA PT. Asaha Samudera selaku Kontraktor Dephub yang akan memasang Mercu Suar di Karang Unarang berangkat dari Sei Nyamuk, pulau Sebatik, Kaltim dengan menggunakan TB. DC-2 dan Tongkang Lius Indah menuju ke Karang Unarang dan tiba  pada  pukul  08.00  WITA  selanjutnya  lego  jangkar  pada
posisi 01º 00’ 42,7” U – 118º 04’ 55,2” T untuk pemasangan tiang pancang Mercusuar.
            Pukul 10.15 WITA melintas pesawat patroli meritim Malaysia diatas Tug Boat DC-2 dan Tongkang Lius Indah dan mengitari beberapa kali terus terbang menjauh kearah Tawao. Pukul 10.30 KD. Sri Melaka – 3147 melaksanakan pemeriksaan dan penggeledahan terhadap kapal Tug Boat DC 2 dan Tongkang Lius Indah. Pemeriksaan dan penggeledahan dilakukan terhadap para pekerja mulai pukul 11.45 s.d 16.00 pada  koordinat 04 00 40 U – 118 04 00 T, dalam pemeriksaan tersebut personel TLDM telah melakukan pemukulan dan menjemur seluruh ABK Tongkang Lius Indah ( 14 Orang ) dari jam 12.00 s.d 16.00.
 3.         Pelanggaran wilayah NKRI oleh Pesawat udara TLDM  tanggal 26 Februari 2005.
            Pada tanggal 26 Februari 2005 pukul 09.15 WITA, KRI Wiratno - 879 berlayar di perairan Teluk Siboko menuju Karang Unarang di perbatasan klaim Malaysia untuk melaksanakan patroli. Pada posisi 04º 02’ 00,4” U – 118º 03’ 30” T  radar kapal berhasil mendeteksi adanya 2 kontak pada baringan 010º  jarak 6 Nm. Dari hasil pengamatan kontak radar dan visual, diketahui adanya 2 buah kapal perang TLDM yaitu KD. Paus - 3507 dan KD. Baung - 3509  berada pada posisi 04º 06’ 30” U – 118º 03’ 55 ” sedang melaksanakan patroli dengan halu  185º menuju Karang Unarang.
            Dari hasil pengamatan visual diketahui pesawat tersebut merupakan pesawat patroli maritim / Land Based Maritime Air Craft jenis  Beech Craft B 200 T Super King. Selanjutnya pukul 10.58 WITA  pesawat tersebut melakukan aksi manuver mendekati KRI Wirtno - 879 dari arah lambung kiri buritan dengan ketinggian ± 300 feet selanjutnya melintas di lambung kiri pada jarak ± 1000 yard untuk mengamati dan mendokumentasikan kegiatan KRI Wiratno - 879 dari dekat.     
4.         Pelanggaran wilayah oleh Pesawat udara TLDM tanggal  03 Maret 2005.
            Pada tanggal 03 Maret 2005 pukul 15.00 WITA, KRI Wiratno - 879, KRI Nuku - 873 dan KRI Rencong - 622 sedang patroli laut melaksanakan patroli dalam rangka penegakkan kedaulatan dan hukum di sepanjang wilayah perbatasan NKRI-Malaysia perairan laut Sulawesi.
            Pada pukul 15.10 WITA kontak visual terlihat 1 (satu) pesawat udara TLDM yang diketahui jenis pesud intai maritim Beechcraft B 200 T Super King.    
            Pukul 15.19 WITA Konvoi membentuk formasi 1 pada posisi 03º 32’ 30” U – 118º 27’ 00” T yang masih dalam wilayah Laut teritorial Indonesia tampak pesawat udara Malaysia terbang dari arah buritan di  wilayah batas klaim Malaysia, pesawat udara TLDM mendekati konvoi dari arah lambung kiri buritan dengan ketinggian ±1000 feet dan berputar 1 (satu) kali dengan maksud mengamati dan mendokumentasikan kegiatan unsur-unsur KRI selanjutnya menjauh menuju daratan Malaysia. Pesawat udara Super King tersebut telah memasuki wilayah NKRI sejauh ± 3 NM di luar batas wilayah yang diklaim sebagai wilayah Malaysia.
5.         Tercatat ratusan kali terjadi pelanggaran oleh Malaysia.
Sampai dengan tahun 2012 berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan telah terjadi sekitar  475 kali pelanggaran yang dilakukan Malaysia baik lewat laut,darat dan udara dengan perincian sebagai berikut :
            a.         Tahun 2005                          :   38 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2006                          :   62 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2007                          : 143 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2008                          : 104 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2009                          :   25 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2010                          :   44 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2011                          :   24 kali pelanggaran
            a.         Tahun 2012                          :   35 kali pelanggaran

DASAR HUKUM BAGI TNI / TNI AL DALAM MELAKSANAKAN PENEGAKKAN KEDAULATAN NKRI DI PERBATASAN RI - MALAYSIA.         
            Dalam melaksanakan penegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia, jajaran TNI AL telah dibekali dengan aturan perlibatan (Rule of Engagement) yang dalam implementasinya tetap menggunakan azas legalitas berdasarkan hukum Nasional, hukum Internasional maupun kebiasaan internasional sebagai berikut :
1.         Hak Bela Diri.           Sesuai hukum internasional, khusunya pasal 51 Piagam PBB tahun 1945 telah ditegaskan bahwa penggunaan kekuatan dalam upaya pembelaan diri dibenarkan. Penggunaan kekuatan pada masa damai dalam menghadapi “serangan ataupun ancaman serangan yang bersifat langsung dan segera” yang mengancam keselamatan negara ataupun keselamatan unsur/satuan, merupakan hak bela diri yang melekat pada masing-masing negara.
2.         Tugas mempertahankan kedaulatan negara.                        Sesuai pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan pasal 9 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI antara lain mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah serta melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa.
3.         Pengusiran.
a.         Pengusiran terhadap kapal perang sesuai pasal 30 UNCLOS ’82 yang telah diratifikasi dengan UU 17 tahun 1985. Apabila sebuah kapal perang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara Pantai mengenai lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati perundang-undangan, maka Negara Pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorial.
b.         Pengusiran terhadap kapal asing sesuai penjelasan pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 “Sanksi atas pelanggaran kedaulatan dan hukum di Perairan Indonesia, antara lain dapat dilakukan dengan memperingatkan kapal asing yang bersangkutan untuk meninggalkan Perairan Indonesia”.
c.         “Pengusiran dengan paksa” terhadap kapal asing sesuai pasal 16 TZMKO. Apabila kapal atau tongkang bertindak dengan cara demikian di dalam perairan RI melakukan pelanggaran terhadap keamanan ketertiban umum, atau kepentingan hak-hak lainnya (Bea dan Cukai) bagi negara, maka kepada kapal itu dapat diperintahkan untuk keluar dari perairan tersebut dengan melalui jalan yang pendek atau jalan yang ditunjuk dan hal sedemikian itu dapat dipakai dengan kekerasan.
4.         Pemaksaan.
a.         Pemaksaan pentaatan peraturan sesuai pasal  224, UNCLOS ’82. Wewenang untuk pemaksaan pentaatan terhadap kendaraan air asing hanya dapat dilaksanakan oleh pejabat-pejabat atau oleh kapal-kapal perang, pesawat udara militer atau kapal laut atau pesawat yang mempunyai tanda jelas dan dapat dikenal yang berada dalam dinas pemerintah dan berwenang melakukan tindakan-tindakan itu.
b.         Pemaksaan pentaatan kapal selam untuk muncul ke permukaan sesuai CUES (Code for Unalerted Encounters at Sea) yang telah disepakati oleh para pemimpin angkatan laut yang tergabung dalam Western Pacific Naval Symposium (Indonesia dan Malaysia sebagai Anggota).(bersambung)





2 komentar:

  1. data di atas sumbernya bapak dapat dari mana pak???

    BalasHapus
  2. sumbernya kok ga ada. peta itu apa betul dari Ditjen Migas??? Tahun berapa???

    BalasHapus